Tuhan, Aku, dan Kamu
Oleh : Deviana Rachma Junisaf
“Kenapa kamu mau denganku?”
“Karena kamu spesial”
“Tapi, kenapa aku?”
“Maksud kamu?”
“Kita beda. Tuhanku dan Tuhanmu itu beda. Tapi
kenapa kamu mau denganku? Masih banyak yang seiman, tapi kenapa aku? Kita beda”
“Apa dengan seiman bisa menjamin aku akan bahagia
dan hidup penuh dengan cinta?”
“...”
Aku tersenyum, lega. Akhirnya kamu berhenti
membicarakan sesuatu yang tidak akan ada habisnya untuk dibahas. Agama. Agama
adalah hal yang sangat sensitif untuk dibicarakan. Masih banyak topik seru,
tapi bukan agama salah satunya.
Aku sadar, kita berbeda. Tapi kita saling
menyayangi. Kita sudah sepakat untuk menerima perbedaan yang ada dan bersedia
untuk saling menghargainya. Apa yang salah? Aku tidak pernah berniat menyakitinya.
Aku menyayanginya.
“Sayang..” Dengan sepelan pelannya suara, dia
memanggil.
“Iya?”
“Kalau Tuhan kita berbeda terus, kamu masih sayang
aku?”
“Masih”
“Sampai kapan?”
“Sampai waktu yang tidak pernah direncanakan”
“...”
Dia memelukku. Sangat erat. Hampir hampir aku sulit
bernafas, tapi aku suka. Rasanya tidak ada hal yang paling membahagiakan selain
dipeluk olehnya. Dan disaat seperti ini, aku ingat Tuhan. Ada nikmat yang tidak
pernah aku syukuri sebelumnya. Nikmat diberikan orang orang yang aku sayang dan
menyayangiku balik. Salah satunya dia.
Dia mengajakku duduk. Duduk disalah satu sofa yang
ada dirumahku. Dia merangkulku, dan aku bersandar dipundaknya. Kami
membicarakan tentang banyak hal. Mulai dari hal hal kecil hingga hal hal yang
seharusnya tidak dibicarakan.
“Sayang..”
“Iya?”
“Kalau Tuhan manggil aku sekarang gimana?”
“Memangnya Tuhan menyuruhmu solat? Sejak kapan
ibadah kamu tidak lagi di gereja?”
“Tidak, bukan itu yang aku maksud”
“Terus?”
“Kalau Tuhan memanggilku ‘Andara, kembalilah, semua
tugas telah kau selesaikan"
Belum sempat ia menyelesaikan perkataannya, aku
memotong. Aku tidak mau dia melanjutkannya. Dia selalu seperti itu.
Membicarakan kematian. Memang benar, kematian pasti akan datang. Tapi tidak
harus selalu dibahas, bukan?. Aku terus memaksanya untuk berhenti. Aku
memaksanya untuk tahu kalau aku ttidak pernah siap untuk kehilangannya.
Kehilangan seseorang yang menyayangiku.
“Lalu Tuhan bilang ‘Andara, siapa dia? Kenapa dia
protes?’”
“Terus kamu jawab apa?” jawabku sedikit manja
dengan muka yang murung.
“Tuhan, kenalkan, dia adalah orang yang selalu
menyayangiku, disaat aku senang dan sedih. Dia, orang yang selalu membuatku
tersenyum kapanpun. Dan dia, yang mampu
menerimaku, apa adanya”
Tersenyum dan memeluknya. hanya itu yang mampu menggantikan
kata kata yang susah terucapkan.
“Eh, terus kamu tahu tidak Tuhan menjawab apa?”
“Apa?”
“’Yasudah, tidak jadi’”
Kami tertawa. Kami berhasil membunuh dan mengubur
perasaan takut akan terpisah oleh agama hanya dengan tertawa. Dan sungguh,
hanya tertawa bersamanyalah yang aku rasa mampu mengobati segala yang aku
rasakan. Dan inilah yang membuatku selalu bersyukur. Bersyukur telah diberikan
orang yang takut melihatku sedih, bahagia melihatku tertawa dan marah ketika
ada yang menyakitiku. Terima kasih Tuhan.
***
0 komentar:
Posting Komentar