Selasa, 19 Maret 2013

Perih itu Membuatku Tetap Berjuang


Oleh : Rico Ramdhani

          Waktu menunjukan pukul 01.20 malam saat aku terbangun .Bulir-bulir hujan masih belum bosan mengetuk-ngetuk atap rumahku, udara dinginpun sepertinya masih belum lelah mengitari rumahku.Kutarik selimut merah yang selalu menghangatkan tidurku semenjak aku kecil dulu, mencoba untuk terlelap lagi.Tapi, semakin aku berusaha untuk terlelap, semakin sulit mataku untuk terpejam. “haaahh.. Aku merindukan suaranya” gumamku dalam hati.

            Empat tahun lalu, bulan februari tahun 2009.Adalah hari ketika dokter mendiagnosanya memiliki kelainan dengan otak kecilnya. Spinocerebellar degeneration desease atau juga yang di kenal dengan ataxia friedriech. Penyakit yang mengakibatkan ia kehilangan kemampuan mengendalikan koordinasi pergerakan tubuhnya.

            Hari itu cuaca begitu terik dan cerah, berbalikan dengan kenyataan saat itu. Hari itu adalah hari ketika dokter menjelaskan hasil pemeriksaan laboratorium mengenai penyakit yang di deritanya. Aku memperhatikan percakapan sang dokter dengan orang tuanya dari kejauhan. “Berdasarkan hasil uji laboratorium, anak anda mengidap ataxia friedriech” ungkap sang dokter meyakinkan. Saat itu aku hanya bisa menahan napas sambil mendengarkan kata demi kata dari kejauhan, walaupun samar, setidaknya itu yang aku dengar dari percakapan mereka. Setelah percakapan antara dokter dan orang tuanya selesai, orang tuanya langsung mengajak ia untuk pulang. Aku ikut mengantarnya pulang bersama orang tuanya. Tidak seperti biasanya, suasana selama perjalanan pulang begitu hening, tak ada yang berbicara apapun. “Tumben pd diem, biasanya kalo udh ngumpul gini pada bawel, emang dokternya ngomong apa tadi sampe pd diem gini ?” tanyaku dalam hati.
            “Istirahat ya.. ?! kalo ada sesuatu, kamu kasih tau aku..” bisikku perlahan sesampainya di rumahnya. Ia hanya mengangguk tanpa bicara apapun. Akupun berpamitan pada orang tuanya dan langsung pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah aku langsung mencari tahu apa maksud dari yang dikatakan dokter di rumah sakit tadi pagi lewat internet. Aku terhenyak sembari menahan napas ketika mengetahui penyakit macam apa yang yg dimaksud.

Beberapa minggu berlalu tanpa ada kabar tentang keadaannya.
Sudah hampir sebulan aku kehilangan kontak dengannya. Tiba-tiba aku mendengar kabar dari adiknya bahwa ia sedang dirawat di rumah sakit sambil menjalani terapi sejak bebrapa hari yang lalu. Aku langsung mendatangi rumah sakit tempat ia dirawat.
Sesampainya disana, aku bertemu dengan ibunya yang sedang menunggui ia menjalani terapi. Ibunya menceritakan padaku tentang kondisinya. Aku hanya bisa terdiam mendengarkan penjelasan dari ibunya. Perasaan kalut tiba-tiba menyelubungiku saat ibunya menjelaskan semuanya. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa sangat takut kehilangan dia.

Setiap hari ia menjalani terapi untuk melatih keseimbangan dan refleksnya hingga ia benar-benar kelelahan dan setiap hari itu juga ia terus mengkonsumsi obat yang diberikan dokter. Tapi tidak ada tanda-tanda ia semakin membaik. Kesehatannya terus menurun seiring berjalannya waktu

Tak terasa tiga bulan berlalu..kondisinya semakin memburuk,  ia mulai kesulitan untuk berjalan, terlihat dari cara berjalannya yang mirip seperti pinguin, ia juga sering tersedak ketika menelan makanan. Kondisinya yang terus memburuk dari hari ke hari memaksanya untuk membatasi kegiatannya sehari-hari. Orang tua dan keluarganya yang lain bukan tidak melakukan apapun, mereka mati-matian mencari cara dan solusi untuk menyembuhkannya, tapi tidak juga menemukannya. Dan teman-temannyapun juga tak henti-hentinya memberikan dukungan dan hiburan untuknya.

“Haiiiiiiiiii.. Frei..aku baru ngeborong komik sama novel keren nih! ceritanya romantis banget loh.. yaaa lumayan lah buat hiburan.. daripada mandangin jendela mulu, jangan-jangan lama-lama lompat juga ntar.. hehehehehe” canda salah satu teman satu sekolahnya. Saat itu aku sendiri merasa sedikit agak tenang, karena setidaknya dengan kondisinya yang seperti itu dia masih bisa bercanda dengan teman-temannya.
Kedatangan teman-temannya sangat menghiburnya, mereka mengobrol tentang hal-hal konyol yang terjadi di sekolah juga hal-hal sepele dan konyol lainnya.
            Jam menunjukkan pukul 16.00, mengisyaratkan bahwa jam berkunjung sudah habis. Teman-temannya pun berpamitan. Tak lama ia pun tertidur, mungkin karena ia lelah atau mungkin terlalu memaksakan diri menemani teman-temannya mengobrol.

            Tak terasa sudah dua tahun berlalu sejak hari itu, dan sudah dua tahun pula aku menemaninya menjalani perawatan dan terapi yang ia jalani. Aku diizinkan tinggal di rumah sakit menemani ia menjalani perawatan dan terapi oleh keluarganya dikarenakan keluarganya sibuk mencari biaya tambahan untuk membayar biaya rumah sakit.
Semakin hari kondisinya terus memburuk. Perawatan dan terapi yang dijalaninya seakan tidak memberikan efek sama sekali. Saat ini, ia bahkan sudah sangat kesulitan untuk berbicara. 
Saat itu sekitar pukul 02.30 ia terbangun dan memanggil-manggil namaku. Akupun terhentak dan menghampirinya. “Ada sesuatu yang dari kemarin pingin banget aku bicarain, tapi aku bingung mau mulai dari mana” ucapnya terbata-bata. “Udah malem ! gak usah macem-macem, kamu harus istirahat ! besok lagi ngobrolnya, sekarang kamu tidur  !” balasku tegas. “tapi aku maunya sekarang”  balasnya lagi terbata-bata. “ya udah tapi bentar aja ya ngobrolnya, abis itu kamu tidur lagi” balasku mengalah sambil menghela napas.
            “Makasih ya, kamu udah selalu dan gak pernah cape ngasih motivasi dan harapan kalau sakit aku bakal sembuh, makasih buat semua yang pernah kamu lakuin buat aku, makasih buat semua kenangan-kenangan yang pernah kita buat. Maaf juga kalau aku selalu bikin kamu susah” ucapnya lagi terbata-bata. Mendengar cara berbicaranya yang seperti itu membuatku tak bisa bicara apapun, aku hanya bisa diam sambil menahan napas. “hey, kamu mau gak janji beberapa hal sama aku?” bisiknya perlahan. “Buat kedepannya aku mau kamu lebih semangat lagi sama jangan gampang nyerah, dan kamu juga harus sekolah..kamu sayang kan sama keluarga kamu ? kamu harus bisa punya masa depan demi mereka, kalo untuk masalah biaya aku udah bilang sama ayah, dia katanya mau kok biayain kamu. Kamu sekolah ya ? gak usah malu karena umur kamu lebih tua atau apapun.. dan aku mau kamu lebih ikhlas dan sabar lagi kalo misalkan ngadepin sesuatu.. jangan terlalu keras sama adik-adik kamu, aku tau hidup kamu keras tapi bukan berarti juga kamu harus lampiasin itu ke adik-adik kamu kan ..? jaga diri kamu.. jaga kesehatan kamu.. jangan depresian lagi.. jangan pesimisan lagi.. jangan keseringan gak makan.. jangan terlalu banyak bergadang.. jangan terlalu maksain diri lagi.. jangan terlalu mikirin sesuatu yang kurang perlu.. jangan banyak pikiran lagi.. jangan marah-marah gak jelas sama orang lagi.. oke ? ” ucapnya lemah dan terbata-bata. “Aku usahain, aku gak mau janjiin hal yang belum tentu bisa aku lakuin.. tapi, yang jelas aku bakal coba sebisa aku buat nepatin semuanya” jawabku meyakinkannya.
“sip !! aku cuman pingin bicara itu doang kok.. kamu cape kan ? tidur lagi gih.. liat tuh matanya udah kaya panda gitu.. kan udh janji gak akan begadang lagi ?” balasnya perlahan. “kamu tidur duluan” balasku setengah berbisik.
           
Aku sudah tidak bisa lagi membedakan nada bicaranya ketika ia sedang bersedih ataupun bercanda. Cara berbicaranya yang lemah dan terputus-putus sering membuatku kesulitan memahami maksud perkataannya. Cara berbicaranya yang seperti itu sangat membuatku miris dan membuatku semakin pesimis akan keadaannya.
Entah.. saat melihatnya tertidur, tubuhku mendadak menjadi lemas. Dingin dan rasa perih tiba-tiba menggerogoti dadaku. Saat itu..entah kenapa aku menjadi semakin takut kehilangan dia. Mendadak, aku tiba-tiba merasa bahwa ia akan segera pergi jauh.

            Saat itu, dia adalah satu-satunya orang yang menguatkanku atas kejadian yang menimpaku secara bertubi-tubi, tapi ini bukan berarti keluarga dan teman-temanku mengacuhkanku, tapi.. karena memang aku sendirilah yang menjauhkan diri sejenak dari mereka. Entah mengapa aku sendiri merasa muak dengan kehidupan yang ku jalani saat itu.
            Perceraian orang tua, putus sekolah, dihianati teman dan melihat ia terbaring lemah seperti itu membuatku benar-benar depresi dan tak tahu lagi harus bagaimana. Berbagai bentuk hiburan dan lelucon sudah terasa tidak menyenangkan dan hambar di telinga dan mataku.Dia meskipun dengan kondisinya yang seperti itu, dia masih mampu untuk menguatkan dan menenangkanku tidak sepertiku yang hanya bisa menjadi beban banyak orang.

            Bulan demi bulan berlalu.
            Kondisinya semakin memburuk, sekarang ia hanya dapat terbaring lemah, wajahnya semakin pucat, kantung matanya terlihat semakin cokelat dari hari ke hari, tubuhnya semakin kurus, pipinya yang dulu selalu aku jadikan bahan candaan kini terlihat pipih.
Ketika itu jam menunjukan pukul 11.30 malam. Rasa letih, lelah dan kantuk kian menggorogoti mataku. Sudah empat hari aku tidak bisa tidur, dan lagi kepalaku dipenuhi ketakutan jika sewaktu-waktu ia pergi dan aku tak mengetahuinya. Kupikir, tak lama lagi aku akan segera kehilangan akal sehatku. Rasa tertekan yang aku alami kian menghebat setiap harinya.

            Ketika itu, sambil memperhatikan lekuk-lekuk wajahnya, aku menggumam. “Ya Tuhan, melihat dia terus menerus seperti ini dari hari ke hari benar-benar membuatku gila” keluhku setengah berbisik. Aku terus memperhatikannya hingga akhirnya rasa lelah, letih dan kantuk itupun mengalahkanku.Tanpa sadar akupun tertidur. Beberapa jam kemudian, aku terbangun. Beberapa detik setelah kesadaranku mengumpul, telingaku tak lagi mendengar helaan napas lemahnya. Aku tak dapat mempercayainya. Tak bisa mendengarnya aku jadi enggan untuk terbangun. Berusaha mati-matian untuk tertidur lagi, dan berharap ini hanyalah mimpi. Tapi rasa perih yang menyeruak ke seluruh tubuh dan membuatku tubuhku bergetar membuatku tetap tersadar.

            Ku raih jemarinya, DINGIN…
Wajahnya sama pucatnya dengan hari-hari kemarin, tapi.. kali ini matanya terpejam dan napasnya terhenti. Ia telah pergi, perjuangan kerasnya berakhir. Pada akhirnya ia tetap kalah.
            Ketika itu, tubuhku bergetar seharian. Aku masih belum bisa menerima bahwa sekarang ia telah pergi, bahkan hingga sekarang. Kenyataan ini terlalu sulit dicerna.

Hingga saat ini, sudah dua tahun berlalu sejak kepergiannya..
September 2011..
Itulah hari dimana ia pergi..

Sesekali rasa perih itu datang, rasa perih yang membuatku ingat betapa berartinya ia. Tapi..di sisi lain aku percaya, hingga sekarang ini.. mungkin ia sedang mengawasiku dari tempat yang berbeda, untuk memastikanku menjaga janjiku padanya.
Suatu saat nanti di kemudian hari.. jika memang aku bisa bertemu lagi dengannya.. aku ingin sekali menemuinya lagi dengan wajah terseyumnya. Melihat lagi.. lengkung mata tersenyumnya.

***

0 komentar:

Posting Komentar