Selasa, 19 Maret 2013

Bidadariku, Mimpiku


Oleh : Allan Leo Nardi

Namaku Aldri, setiap pagi selalu aku lewati dengan kebiasan yang sama, rutinitas seorang pelajar. Datang ke sekolah, belajar, ngobrol dengan teman-teman, pulang sekolah, tidur, belajar, bangun, berangkat sekolah, dan seterusnya. Membosankan, sangat membosankan. Namun, akupun tak dapat memberontak, mengelak, bahkan meninggalkan rutinitasku. Karena, aku tak mungkin keluar dari zona ku, zona seorang pelajar. “Menikmatinya, hanya itu caranya” nasihat dari temanku yang selalu terngiang di pikiranku.
                Pagi hari itu, disekolah, hariku terasa berubah 1000 derajat. Bukan 180 derajat lagi. Seseorang yang melemparkan senyum manisnya padaku seolah membuat jantungku berhenti berdetak. “Apa ini yang dinamakan dengan Bidadari?” ucapku dalam hati. Sekilas senyumnya begitu cepat meninggalkanku bersamaan dengan deringan bel yang memanggil. Wajahku nampak sumringah tak karuan. “Hey! Kenapa mukamu seperti orang jatuh cinta gitu? Bisa jatuh cinta juga? Hahahaha”, ujar temanku dengan nada yang mengejek. Sontak aku menjawab, “Nggak! cuma lagi seneng aja.”. Akhirnya, kami pun langsung masuk ke kelas.  Jam pertama dimulai dengan pelajaran Matematika, sebuah pelajaran yang mencekam, memutar otak, tertekan layaknya depresi jiwa, memaksaku untuk menghitung dan membuatku sedikit mual. NAMUN! Matematika untuk hari ini berbeda, matematika yang sangatlah mengasyikan, setiap angka yang terbersit bagaikan hitungan rasa cinta pada Bidadariku,  dan aku rasa Bidadari terkadang jadi seperti matematika, tak luluh hanya dengan logika, tapi perlu rumusan kata yang dipenuhi dengan cinta. Temanku yang bernama Bono memanggilku sambil berbisik, “Woy, Senyam-senyum aja! Sakit jiwa yah?”

Aldri       : Bon, tau bidadari nggak?
Bono     : Wah kenapa nanya gitu, dri?
Aldri      : Ceilah balik nanya. Serius nih,  Bidadari itu gimana?
Bono     : Iyeee.. Bidadari itu mahkluk Tuhan  yang paling Indah, dari wajahnya,  senyumnya, sampai cara dia menatap satu sama lain. Setau gue sih begitu. Hmmm...
Aldri          : BENER! Bener kalau yang tadi gue lihat itu.... BIDADARI!
Bono        : Wah ngimpi lo, dri! Bidadari kan cuma ada di Dongeng dan Film.
Aldri       : Ini ciyuss, enelan, gak oong deh.

                Balasanku terhadap ketidakyakinannya Bono yang sedikit menggelikan itu, menjadi akhir perbincangan kami di sela-sela jam pelajaran. Aku seolah tak sabar ingin segera mendengar bel istirahat berbunyi. Bukan, bukan untuk ke kantin. Tapi, untuk melihat Bidadari yang telah kupatenkan menjadi perampok hatiku yang pertama. Ini terkesan meng-klaim, mengakui yang bukan miliknya. Namun, ku acuhkan . . .  “Lagipula, lelaki mana yang tak tercuri hatinya oleh Bidadari secantik dia?” gumamku dalam hati.
                Akhirnya bunyi bel terdengar juga, segera aku bergegas keluar dari kelas dan mencari Bidadariku. Kupandangi wajahnya dari sudut sekolah, namun aku melihat seorang pria duduk bersanding dengannya. Sakit memang, namun aku harus berpikir positif, mungkin pria itu hanya temannya. Saat sedang asyik melihat wajah indahnya, aku mendengar salah satu temannya memanggil dia. “Shilla, kemarilah. Bu Maria mencarimu”. Dan itulah awal aku mengetahui namanya.
Shilla..... Oh..... Shilla...., entah apa yang aku rasakan saat aku melihatmu duduk berdua dengan seorang pria, hati ku rasanya sangat sakit. Ya Tuhan mungkinkah aku jatuh cinta kepadanya?. Aku tidak tahu tentang rasa ini. Hingga suatu hari aku tidak melihat Shilla, aku mencoba mencarinya di tempat dimana Shilla sering kumpul bersama teman-temannya, namun tidak ada. Aku memutari sekolah, namun aku tidak melihatnya juga. Hingga aku mencoba memberanikan diri tuk bertanya pada temannya dan ternyata dia tidak masuk sekolah karena sakit. Aku sangat khawatir, sungguh-sungguh khawatir. Mungkin ini yang namanya jatuh cinta.
Waktu terus berlalu, dan aku masih tetap mengaguminya, memandanginya dari kejauhan, dan berharap dia membalas cintaku. Ingin rasanya  ku ungkap perasaan ini, namun ketika ku melihat sosok pria yang akrab dengannya, seolah membuat harapanku pupus. Namun, semangatku kembali berkobar ketika ku curahkan keluh kesahku pada Bono. Bono memberiku masukkan dan sangat mendukungku untuk mendapatkan hati Shilla alias Bidadariku.
                “Aldri....!! Gue punya kabar bahagia buat lo. Ini tentang Si Bidadari!” teriak Bono dari kejauhan.  Aku pun seketika kaget dan bertanya-tanya apa maksud perkataan Bono. Dan ternyata, Bono memberikanku nomor HP Shilla. “Ini bisa jadi langkah awal untuk semakin dekat dengan Bidadariku, Makasih Bono!!!” ucapku pada Bono. Bono hanya tersenyum.
                Aku menunggu momen yang sangat tepat, hingga akhirnya aku putuskan untuk SMS Shilla di malam hari.
Aldri       : Selamat malam, aku Aldri. Teman satu sekolahmu. Hehe
Shilla      : Selamat malam juga, Aldri. Aku Shilla.
Aldri       : Aku tahu kok, maaf menganggumu Shilla malam-malam gini.
Shilla      : Hahaha. Tidak kok Aldri, kamu lagi apa?
Aldri       : Lagi... Lagi... Lagi.... Lagi Lagi Lagi mikirin kamu. Hahahaha
Shilla      : Gombal ih, Oh iya... Aku udah ngantuk nih, Aku tidur duluan ya. Besok kita lanjutkan.
Sungguh-sungguh tidak kupercayai, ini seperti mimpi. Rasanya aku selalu nyaman setiap melakukan percakapan meski hanya lewat SMS. Semenjak itulah hubungan yang terjalin antara aku dan Shilla semakin dekat dan dekat. Namun, sudah beberapa hari Shilla tak kunjung membalas SMS ku juga. Aku tak tahu, Apa dia marah padaku? Apa dia benci padaku? Apa aku terlalu buruk untuknya?. Setelah kuperhatikan selama di Sekolah, frekuensi perbincangan Shilla dan teman prianya semakin sering. Aku bingung, aku tak tahu apa yang harus aku perbuat. Dan akhirnya ku memberanikan diri untuk menghampiri Shilla untuk mengutarakan tentang perasaanku. Jam pulang sekolahlah yang aku pilih.
Aldri       : Hay Shilla, aku Aldri. Boleh aku bicara denganmu?
Shilla      : Hay Aldri, akhirnya aku melihat wajahmu. Hehehe
Aldri       : Kamu cantik sekali Shilla... Aku sangat mengaggumi sedari dulu.
Shilla      : Terima kasih Aldri, akupun kagum dengan sikap humorismu.
Aldri       : Shilla, Kamu mau nggak . . . . . . . . . . . . . . . .
*tinnn . . .  tinnn . . .  tinnn . . . *
Belum sempat aku berbicara sepenuhnya, bunyi klakson sangat nyaring dan sebuah motor menghampiri kami berdua. Dan ternyata pria akrab teman Shilla itulah pengemudinya. Dia berkata “Sayang, ayo kita pulang. Sudah semakin sore nih”. Seketika hati ini remuk dan hancur. Ya Tuhan mengapa aku cemburu? dan Mengapa pula aku harus melihat ini semua? Ingin hati ini marah, namun ku tak tahu pada siapa. Aku sadar, Shilla bukan siapa-siapa ku. Tidak ada sedikitpun penyesalan telah mengenal dirimu yang pernah warnai hari di hidupku, Dan mungkin jika mencintaimu hanyalah sebatas mimpi, maka biarkanlah aku tertidur untuk selamanya. 
***

0 komentar:

Posting Komentar