Selasa, 19 Maret 2013

3P

Oleh : Alkahfi Harifudin

      Pagi hari, tengg..tengg..tengg terdengar sangat nyaring bunyi bel sekolah berdering tanda aktivitas sebagai seorang pelajar dimulai. Tepat pukul 07.15 WIB semua siswa seperti biasa dikumpulkan di ruang aula untuk melaksanakan sholat dhuha sebelum memulai kegiatan belajar mengajar. Ya, pagi itu adalah hari yang sangat indah seperti halnya tanggal yang juga indah, 08-09-10.  Terik matahari yang cukup mewarnai suasana rindu akan Tuhan yang membangkitkan siswa-siswa untuk melaksakan sholat.

Pelajar yang mengaku blasteran jawa dan sunda dengan nama Parto Kartohadri Kusuma selalu mengisi hari-harinya dengan canda tawa, kekonyolan yang dia buat bersama teman-temannya, serta hal-hal yang sangat menyenangkan walau itu menyedihkan. Parto, begitu teman-temannya akrab memanggilnya.

Pada hari Rabu ini, ia memulai harinya dengan senyuman yang seperti baru dapat rezeki. Entah apa alasannya, tapi sepertinya memang begitu gayanya. Pelajaran demi pelajaran kian berganti sampai pada akhirnya teengg..teeng..teeng..tenggg “Yes saatnya makan siang, udah laper juga nih. Makan yuk!” Kata Parto  yang perutnya sudah keroncongan menanti saat ini tiba. Berjalan dengan penuh semangat menuju aula tempat makan siang bersama. Setelah mendapat giliran untuk mengambil makanan, dengan segera ia menyiduk makanan ke piringnya lalu dengan lahap ia memakannya. Seusai makan, sesuai jadwal siswa-siswa melaksakan sholat dzuhur berjama’ah sesuai dengan kelasnya masing-masing. XI Abu Dzar Al Ghifari, itulah nama kelas yang Parto duduki saat ini.

Pukul 01.00 siang, semua siswa dipersilahkan untuk istirahat selama 30 menit. Parto yang saat itu hendak pergi ke kantin tiba-tiba terdengar panggilan  untuknya dari salah seorang guru. Niatnya untuk mengisi tambahan isi perutnya ternyata kandas. Ia diminta untuk membelikan seutas pita berwarna biru di toko peralatan yang jaraknya agak jauh dari sekolah. Akhirnya ia bergegas pergi membelinya dengan harapan dapat kembali tetap pada waktu istirahat agar bisa membeli setidaknya 2-3 cemilan di kantin.

Perjalanan yang cukup jauh dilalui dengan berjalan kaki. Toko pertama yang ia hampiri ialah warung yang berada di pojok jalan. “Pak permisi, ada pita pak?” Tanyanya pada penjaga toko. “Pita yang gimana dek?” Sahut penjaga toko. “Yang pita jepang pak warna biru.” Jelasnya. “Oh, coba di rak bawah situ dek cari dah” Sambil menunjukkan letaknya. “Gak ada pak yang warna birunya ya?” tanyanya kembali. “Berarti udah abis dek.” Jawab penjaga toko. Dengan perasaan hampir kecewa, ia pergi meninggalkan toko tersebut dan menemui toko yang ada di seberang jalan.

“Permisi, bu.” Sahutnya “Iya de, mau beli apa?” tanya penjaga toko. “Jual pita jepang bu?” tanyanya kembali “Ada nih dek, warna apa?” Dengan cepat ia menjawab “Biru bu, ada kan?” “Iya ada, sebentar diambil dulu” jawab penjaga toko. Selang beberapa menit ketika ia ingin membayarnya, tiba-tiba..”Waduh, dimana?” tanyanya kepada dirinya sendiri mengenai uang yang diberikan gurunya untuk membeli pita tersebut. Ia terus merogoh-rogoh sakunya sambil memastikan bahwa sakunya tidak bolong. “Bentar ya bu.” bilang Parto kepada penjaga toko. Ia terus merogoh sakunya dan berharap kalau uangnya itu terselip bukan hilang.

“Perasaan disini tadi” sambil terus mengecek sakunya. “Waduh, dimana ya?” Pertanyaan yang ditanyakan berulang kali kepada dirinya. Keringat dingin sudah bercucuran, mulai ia menggaruk-garuk kepalanya, dan perasaan panik sudah menghantuinya. “Waduh, gocap lagi. Dimana ya?” bingungnya apa yang harus dilakukan. Ia menyebrangi jalan kembali sambil melihat-lihat ke badan jalan, tepi, dan setiap sisi bagian jalan ia terus lihat mencari dimana kertas biru berharga itu. Balik lagi ia sebrangi jalan, tetap tidak ia temukan. Bertanya kepada orang-orang sekitar juga tidak membuahkan hasil. Panik terus mencekam “Waduh, dimana ya? Gimana nih?” pertanyaan yang terus ia lontarkan kepada dirinya sendiri. “Gawat kalo ilang.” Sambil ia lihat uangnya yang tersisa disaku. Hanya ada tiga lembar ribuan dan dua lembar lima ribuan, tak mungkin cukup untuk mengganti uang gurunya itu. Suasana semakin mencekam dirinya.

Panik, bingung, gawat, semakin bercampur perasaannya. Fikirannya tidak karuan sampai ia berulangkali bolak-balik menyebrangi jalan. Sudah 45 menit lebih 37 detik ia mencarinya. Kemudan ia mulai berfikir bagaimana caranya untuk bilang kepada gurunya tentang kejadian ini. Takut? Iya, sangat takut. Takut dimarahi tentunya.

“Pasti udah selesai nih jam istiratnya” katanya dalam hati. Akhirnya sebelum kembali ke sekolah, ia memutuskan untuk pergi ke toko yang pertama kali ia kunjungi meskipun sudah dua kali ia datangi. Untuk yang terakhir kali, “Pak, tadi liat uang Rp50.000,00 gak? Jatuh mungkin disini gitu.” “Sebenernya saya liat tadi ada uang jatuh dibawah, tadinya pas adek kesini lagi dan menanyakan uangnya saya juga ragu. Takutnya bukan uang adek dan uang orang nanti kalau orangnya dateng bingung juga. Tapi dengan tiga kali adek ke sini, sudah membuat saya yakin bahwa ini uang adek. Nih dek uangnya, maaf ya udah bikin panik kayaknya.” Jelas petugas toko. “Alhamdulillah pak, ya ampun pak. Makasih banyak ya pak. Alhamdulillah.” Syukurnya. “makannya dek, kalau pegang uang simpannya yang bener” “Iya pak, maaf pak eh makasih banget juga ya pak. Alhamdulillah”. Sangat senang dirinya saat ia dipertemukan kembali dengan uang tersebut.

              Perasaan yang begitu lega ia rasakan. Akhirnya ia kembali ke sekolah dan mengembalikan uangnya kepada pemiliknya. Terlalu senang sampai ia lupa untuk membeli pita di toko seberang jalan. Lalu ia menceritakan pada teman-temannya mengenai apa yang membuatnya telat masuk kelas pada jam istirahat ini. Teman-temannya malah mentertawainya. Untuk kejadian hari ini, ia sendiri menyingkatnya dengan 3 P yakni Parto, Panik, Pita.

***

0 komentar:

Posting Komentar