3P
Oleh : Alkahfi Harifudin
Pagi hari, tengg..tengg..tengg
terdengar sangat nyaring bunyi bel sekolah berdering tanda aktivitas sebagai
seorang pelajar dimulai. Tepat pukul 07.15 WIB semua siswa seperti biasa
dikumpulkan di ruang aula untuk melaksanakan sholat dhuha sebelum memulai
kegiatan belajar mengajar. Ya, pagi itu adalah hari yang sangat indah seperti
halnya tanggal yang juga indah, 08-09-10.
Terik matahari yang cukup mewarnai suasana rindu akan Tuhan yang membangkitkan
siswa-siswa untuk melaksakan sholat.
Pelajar
yang mengaku blasteran jawa dan sunda
dengan nama Parto Kartohadri Kusuma selalu mengisi hari-harinya dengan canda
tawa, kekonyolan yang dia buat bersama teman-temannya, serta hal-hal yang
sangat menyenangkan walau itu menyedihkan. Parto, begitu teman-temannya akrab
memanggilnya.
Pada hari
Rabu ini, ia memulai harinya dengan senyuman yang seperti baru dapat rezeki.
Entah apa alasannya, tapi sepertinya memang begitu gayanya. Pelajaran demi
pelajaran kian berganti sampai pada akhirnya teengg..teeng..teeng..tenggg “Yes
saatnya makan siang, udah laper juga nih. Makan yuk!” Kata Parto yang perutnya sudah keroncongan menanti saat
ini tiba. Berjalan dengan penuh semangat menuju aula tempat makan siang bersama.
Setelah mendapat giliran untuk mengambil makanan, dengan segera ia menyiduk
makanan ke piringnya lalu dengan lahap ia memakannya. Seusai makan, sesuai
jadwal siswa-siswa melaksakan sholat dzuhur berjama’ah sesuai dengan kelasnya
masing-masing. XI Abu Dzar Al Ghifari, itulah nama kelas yang Parto duduki saat
ini.
Pukul
01.00 siang, semua siswa dipersilahkan untuk istirahat selama 30 menit. Parto
yang saat itu hendak pergi ke kantin tiba-tiba terdengar panggilan untuknya dari salah seorang guru. Niatnya
untuk mengisi tambahan isi perutnya ternyata kandas. Ia diminta untuk
membelikan seutas pita berwarna biru di toko peralatan yang jaraknya agak jauh
dari sekolah. Akhirnya ia bergegas pergi membelinya dengan harapan dapat
kembali tetap pada waktu istirahat agar bisa membeli setidaknya 2-3 cemilan di
kantin.
Perjalanan
yang cukup jauh dilalui dengan berjalan kaki. Toko pertama yang ia hampiri
ialah warung yang berada di pojok jalan. “Pak permisi, ada pita pak?” Tanyanya
pada penjaga toko. “Pita yang gimana dek?” Sahut penjaga toko. “Yang pita jepang
pak warna biru.” Jelasnya. “Oh, coba di rak bawah situ dek cari dah” Sambil
menunjukkan letaknya. “Gak ada pak yang warna birunya ya?” tanyanya kembali.
“Berarti udah abis dek.” Jawab penjaga toko. Dengan perasaan hampir kecewa, ia
pergi meninggalkan toko tersebut dan menemui toko yang ada di seberang jalan.
“Permisi,
bu.” Sahutnya “Iya de, mau beli apa?” tanya penjaga toko. “Jual pita jepang
bu?” tanyanya kembali “Ada nih dek, warna apa?” Dengan cepat ia menjawab “Biru
bu, ada kan?” “Iya ada, sebentar diambil dulu” jawab penjaga toko. Selang
beberapa menit ketika ia ingin membayarnya, tiba-tiba..”Waduh, dimana?”
tanyanya kepada dirinya sendiri mengenai uang yang diberikan gurunya untuk
membeli pita tersebut. Ia terus merogoh-rogoh sakunya sambil memastikan bahwa
sakunya tidak bolong. “Bentar ya bu.” bilang Parto kepada penjaga toko. Ia
terus merogoh sakunya dan berharap kalau uangnya itu terselip bukan hilang.
“Perasaan
disini tadi” sambil terus mengecek sakunya. “Waduh, dimana ya?” Pertanyaan yang
ditanyakan berulang kali kepada dirinya. Keringat dingin sudah bercucuran,
mulai ia menggaruk-garuk kepalanya, dan perasaan panik sudah menghantuinya.
“Waduh, gocap lagi. Dimana ya?” bingungnya apa yang harus dilakukan. Ia
menyebrangi jalan kembali sambil melihat-lihat ke badan jalan, tepi, dan setiap
sisi bagian jalan ia terus lihat mencari dimana kertas biru berharga itu. Balik
lagi ia sebrangi jalan, tetap tidak ia temukan. Bertanya kepada orang-orang
sekitar juga tidak membuahkan hasil. Panik terus mencekam “Waduh, dimana ya?
Gimana nih?” pertanyaan yang terus ia lontarkan kepada dirinya sendiri. “Gawat
kalo ilang.” Sambil ia lihat uangnya yang tersisa disaku. Hanya ada tiga lembar
ribuan dan dua lembar lima ribuan, tak mungkin cukup untuk mengganti uang gurunya
itu. Suasana semakin mencekam dirinya.
Panik,
bingung, gawat, semakin bercampur perasaannya. Fikirannya tidak karuan sampai
ia berulangkali bolak-balik menyebrangi jalan. Sudah 45 menit lebih 37 detik ia
mencarinya. Kemudan ia mulai berfikir bagaimana caranya untuk bilang kepada
gurunya tentang kejadian ini. Takut? Iya, sangat takut. Takut dimarahi
tentunya.
“Pasti
udah selesai nih jam istiratnya” katanya dalam hati. Akhirnya sebelum kembali
ke sekolah, ia memutuskan untuk pergi ke toko yang pertama kali ia kunjungi
meskipun sudah dua kali ia datangi. Untuk yang terakhir kali, “Pak, tadi liat
uang Rp50.000,00 gak? Jatuh mungkin disini gitu.” “Sebenernya saya liat tadi
ada uang jatuh dibawah, tadinya pas adek kesini lagi dan menanyakan uangnya
saya juga ragu. Takutnya bukan uang adek dan uang orang nanti kalau orangnya
dateng bingung juga. Tapi dengan tiga kali adek ke sini, sudah membuat saya
yakin bahwa ini uang adek. Nih dek uangnya, maaf ya udah bikin panik kayaknya.”
Jelas petugas toko. “Alhamdulillah pak, ya ampun pak. Makasih banyak ya pak.
Alhamdulillah.” Syukurnya. “makannya dek, kalau pegang uang simpannya yang
bener” “Iya pak, maaf pak eh makasih banget juga ya pak. Alhamdulillah”. Sangat
senang dirinya saat ia dipertemukan kembali dengan uang tersebut.
Perasaan yang begitu lega ia rasakan.
Akhirnya ia kembali ke sekolah dan mengembalikan uangnya kepada pemiliknya.
Terlalu senang sampai ia lupa untuk membeli pita di toko seberang jalan. Lalu
ia menceritakan pada teman-temannya mengenai apa yang membuatnya telat masuk
kelas pada jam istirahat ini. Teman-temannya malah mentertawainya. Untuk
kejadian hari ini, ia sendiri menyingkatnya dengan 3 P yakni Parto, Panik,
Pita.
***
0 komentar:
Posting Komentar