Malu Tak Bisa Menghalangiku
Oleh : Tubagus Gita Permana
Aku memang terlahir dari keluarga yang sangat
sederhana, atau bahkan bisa dikatakan kurang dalam bidang ekonomi. Orangtuaku
bekerja serabutan, ayah bekerja sebagai tukang becak tetapi terkadang ayah juga
bekerja sebagai kuli bangunan. Ibu hanya sebagai ibu rumah tangga biasa, namun
di selang waktu yang dia punya, dia menyempatkan diri untuk berjualan gorengan
atau nasi uduk keliling. Aku lahir memang dari keluarga yang sederhana,
memiliki dua orang adik dan aku bertempat tinggal di rumah yang bisa dikatakan
tak begitu terawat. Orangtuaku adalah orangtua yang sangat pekerja keras untuk
membiayai kehidupan aku dan adik-adikku, bayangkan saja, aku sudah pernah
mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan
sekarang aku bersekolah di sekolah menengah kejuruan ternama di kotaku.
Aku sebenarnya tak pernah mengeluh tentang keadaan
ekonomi yang menimpa keluargaku, akan tetapi aku mengukir niat yang dalam dan
tulus di dalam hati, untuk bisa membantu kehidupan ekonomi keluargaku ini,
minimal aku bisa membeli 1 kilogram beras setiap harinya untuk bisa makan. Aku
memang tidak sepintar orang-orang diluar sana, aku memang tidak mempunyai
keterampilan atau bakat khusus, tetapi aku memiliki semangat! Ya, semangatlah
yang aku junjung tinggi, ku junjung tinggi-tinggi setinggi bintang yang
menghiasi sepinya malam, ku junjung setinggi bintang untuk aku pandang setiap
aku merasa lelah, malu, dan perasaan hati yang tak pernah tenang, agar aku
selalu terus berusaha, berusaha dan terus berusaha!
Aku ingin bercerita tentang perjalanan pendidikanku,
aku dulu bersekolah di SDN Cinanggung Serang, di tahun pertama, aku bisa
mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh guru, sampai dengan tahun
ketiga, aku tidak pernah bisa lagi untuk naik kelas, bukan karena aku sering
membolos, tetapi aku tidak naik kelas karena masalah biaya yang sering
menunggak, selain itu aku selalu membantu orangtuaku untuk mencari uang sehabis
pulang sekolah. Ya, alasan-alasan itu memang klasik, pada intinya aku tidak
naik kelas karena aku memang kurang pandai. Jujur aku malu, malu yang sangat dalam,
tetapi semangat dan tekadku lah yang mendorongku untuk tidak malu menghadapi
kenyataan pahit kehidupan. Seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa mengikuti
pelajaran-pelajaran yang diberikan guru, aku pun tidak pernah tinggal kelas
lagi. Sampai di tahun ke enam, keluargaku mulai bingung dengan kelanjutan
pendidikanku, orangtuaku bingung mau melanjutkan sekolahku dimana, dan darimana
mereka dapat membiayai sekolahku nanti. Aku tidak diam saja, aku mencari
informasi yang ku butuhkan untuk melanjutkan sekolahku ke tingkat SLTP, aku
bertanya dari satu SMP ke SMP yang lain mengenai masalah biaya. Pada akhirnya,
aku mendapat informasi tentang biaya SMP yang bisa dikatakan murah dan
murid-muridnya pun mendapatkan uang saku, walaupun tidak terlalu besar, hanya
berkisar lima ribu ( Rp. 5.000 ) sampai dua puluh ribu rupiah ( Rp. 20.000 ).
Aku mencoba untuk masuk SMP tersebut, dan ternyata aku diterima di SMP yang
bisa menampung orang yang kekurangan sepertiku. SMP yang menampungku tersebut
diberi nama SMP Terbuka.
Singkat cerita, aku menjalani hariku layaknya orang
kebanyakan, pagi aku berangkat sekolah, memakai seragam, dan mendapatkan
pendidikan yang layak. Tetapi bedanya, sehabis pulang sekolah, aku tidak
berdiam diri atau sekedar bermain dengan teman sebayaku, aku membantu orang tua
mencari uang dengan menjadi tukang becak. Memang tidak lazim, tetapi apaboleh
dibuat, aku terdesak keadaan ekonomi yang seakan-akan jika aku tidak membantu
orangtuaku, keluargaku tercekik dengan kehidupan ekonomi yang carut-marut. Aku
menjalani 3 tahun bersekolah di SMP Terbuka, dengan semangat yang selalu
menemaniku, aku mengukir hari-hariku dengan senyuman dan kerja keras pantang
menyerah. Dalam menjalani hari demi hari, terkadang aku merasa malu bila
bertemu dengan teman-teman sekolah dasarku dulu, aku merasa prihatin dengan
keadaanku sendiri, kadang merasa sedih, dan kadang rasa Maluku tak terelakkan
lagi, sampai aku tidak bisa berbicara apa-apa. Mereka memang tidak menghinaku
dengan kata-kata, tetapi mereka menghinaku dengan tatapan penuh makna, entah
apa yang mereka pikirkan terhadapku, yang jelas, aku merasa malu setiap bertemu
teman SD ku. Wajar saja, selain mereka lebih beruntung dari aku, mereka juga
bebas tidak memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk makan.
Setelah 3 tahun berlalu, kini aku harus melanjutkan
pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi dari sebelumnya yaitu sekolah
menengah atas (SMA). “Aaah… Pusing, pusing, pusiiiing” kata-kata itulah yang
sering terdengar dari balik bibir orangtuaku. Merka mulai bingung lagi dengan
kelanjutan pendidikanku. “Mau kemana nanti anak kita? Apa tidak usah
dilanjutkan saja?” Ah, orangtuaku selalu saja begitu, selama ini, aku tidak
pernah berpikir untuk menghentikan pendidikanku, aku yakin semua pasti ada
jalan keluranya. Seperti yang sebelumnya, aku berusaha mencari sekolah yang
layak untuk dihuni oleh orang yang berkekurangan sepertiku. Dan pada akhirnya
aku mendapatkan tempat bernaung unutk mencari ilmu di sekolah menengah kejuruan
di kotaku. Memang di sekolah ini aku tidak mendapatkan uang saku, akan tetapi
aku mendapatkan keringanan biaya spp perbulan yang ditanggung oleh para calon
siswanya.
Aku bingung kenapa aku memilih sekolah kejuruan, toh
aku pernah bilang aku tidak memiliki keahlian khusus. Aku bingung, aku gelisah,
aku ragu, apakah pendidikanku kali ini akan gagal? Atau akan berlanjut namun
tak ada hasil yang didapat? Ah, tak usah ku pikirkan itu! Ku buang jauh-jauh
semua kegelisahan, kebingungan dan keraguan yang membenak di pikiranku. Ku
buang semua layaknya sampah! Karena aku yakin, Allah telah merencanakan sesuatu
yang lebih berharga ketimbang dengan memikirkan hasil dari usaha yang aku
lakukan. Sekolah menengah kejuruan memang pelajarannya harus menjuru, banyak
sekali jurusan-jurusan yang di cantumkan untuk pendidikan. Diantara pilihan
jurusan tersebut, aku sepertinya tertarik dengan ilmu komunikasi dan komputer.
Aku membayangkan bekerja di kantoran, tanpa sapaan terik matahari dan debu yang
menemani kerjaku, tidak seperti narik becak. “Bissmillah… Aku pilih ini”. Ya,
dan akhirnya kubulatkan tekad untuk mendapatkan mimpiku, aku pilih jurusan
komunikasi dan komputer.
Berbicara tentang mimpi,ya, aku tidak pernah
berhenti untuk bermimpi. Aku bermimpi untuk bekerja di kantor besar atau di
perusahaan ternama. Ironis memang, mengingat keadaan ekonomi yang begitu
mencekam, tidak bisa dipungkiri bahwa mimpiku itu hanya sekedar “pemanis”
kehidupanku. “hahaha…. Itu hanya mimpi bodoh, jangan pernah berharap, jalani
dulu saja hari-hari lo, nanti juga dapet ko rejeki mah, tapi jangan ketinggian
mimpinya, malu sama orang kaya tuh, malu!” sepintas aku melamun. Tetapi aku
selalu instropeksi diri, kalau saja aku tak punya mimpi dan selalu takut
dicemooh orang, untuk apa aku hidup? Toh hidup berawal dari mimpi dan kita
harus meninggalkan gengsi yang kita punya, aku selalu menggantungkan kalimat
itu setinggi-tingginya, agar semua yang ku impinya dapat terwujud dan tercapai.
Aku akan selalu berusaha keras, pantang menyerah, buang rasa malu, buang rasa
ragu, karena hidup itu dimulai dari yang kecil, dari sebuah ironi menjadi
sebuah tragedi, tragedi bahagia hingga kelak aku mati ! Sampai saat ini, malu
hanyalah benalu, malu hanyalah masalalu, yang ku tau, malu tak menghalangiku !
0 komentar:
Posting Komentar