Selasa, 19 Maret 2013

Malu Tak Bisa Menghalangiku

Oleh : Tubagus Gita Permana


Aku memang terlahir dari keluarga yang sangat sederhana, atau bahkan bisa dikatakan kurang dalam bidang ekonomi. Orangtuaku bekerja serabutan, ayah bekerja sebagai tukang becak tetapi terkadang ayah juga bekerja sebagai kuli bangunan. Ibu hanya sebagai ibu rumah tangga biasa, namun di selang waktu yang dia punya, dia menyempatkan diri untuk berjualan gorengan atau nasi uduk keliling. Aku lahir memang dari keluarga yang sederhana, memiliki dua orang adik dan aku bertempat tinggal di rumah yang bisa dikatakan tak begitu terawat. Orangtuaku adalah orangtua yang sangat pekerja keras untuk membiayai kehidupan aku dan adik-adikku, bayangkan saja, aku sudah pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekarang aku bersekolah di sekolah menengah kejuruan ternama di kotaku.

Aku sebenarnya tak pernah mengeluh tentang keadaan ekonomi yang menimpa keluargaku, akan tetapi aku mengukir niat yang dalam dan tulus di dalam hati, untuk bisa membantu kehidupan ekonomi keluargaku ini, minimal aku bisa membeli 1 kilogram beras setiap harinya untuk bisa makan. Aku memang tidak sepintar orang-orang diluar sana, aku memang tidak mempunyai keterampilan atau bakat khusus, tetapi aku memiliki semangat! Ya, semangatlah yang aku junjung tinggi, ku junjung tinggi-tinggi setinggi bintang yang menghiasi sepinya malam, ku junjung setinggi bintang untuk aku pandang setiap aku merasa lelah, malu, dan perasaan hati yang tak pernah tenang, agar aku selalu terus berusaha, berusaha dan terus berusaha!

Aku ingin bercerita tentang perjalanan pendidikanku, aku dulu bersekolah di SDN Cinanggung Serang, di tahun pertama, aku bisa mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh guru, sampai dengan tahun ketiga, aku tidak pernah bisa lagi untuk naik kelas, bukan karena aku sering membolos, tetapi aku tidak naik kelas karena masalah biaya yang sering menunggak, selain itu aku selalu membantu orangtuaku untuk mencari uang sehabis pulang sekolah. Ya, alasan-alasan itu memang klasik, pada intinya aku tidak naik kelas karena aku memang kurang pandai. Jujur aku malu, malu yang sangat dalam, tetapi semangat dan tekadku lah yang mendorongku untuk tidak malu menghadapi kenyataan pahit kehidupan. Seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan guru, aku pun tidak pernah tinggal kelas lagi. Sampai di tahun ke enam, keluargaku mulai bingung dengan kelanjutan pendidikanku, orangtuaku bingung mau melanjutkan sekolahku dimana, dan darimana mereka dapat membiayai sekolahku nanti. Aku tidak diam saja, aku mencari informasi yang ku butuhkan untuk melanjutkan sekolahku ke tingkat SLTP, aku bertanya dari satu SMP ke SMP yang lain mengenai masalah biaya. Pada akhirnya, aku mendapat informasi tentang biaya SMP yang bisa dikatakan murah dan murid-muridnya pun mendapatkan uang saku, walaupun tidak terlalu besar, hanya berkisar lima ribu ( Rp. 5.000 ) sampai dua puluh ribu rupiah ( Rp. 20.000 ). Aku mencoba untuk masuk SMP tersebut, dan ternyata aku diterima di SMP yang bisa menampung orang yang kekurangan sepertiku. SMP yang menampungku tersebut diberi nama SMP Terbuka.

Singkat cerita, aku menjalani hariku layaknya orang kebanyakan, pagi aku berangkat sekolah, memakai seragam, dan mendapatkan pendidikan yang layak. Tetapi bedanya, sehabis pulang sekolah, aku tidak berdiam diri atau sekedar bermain dengan teman sebayaku, aku membantu orang tua mencari uang dengan menjadi tukang becak. Memang tidak lazim, tetapi apaboleh dibuat, aku terdesak keadaan ekonomi yang seakan-akan jika aku tidak membantu orangtuaku, keluargaku tercekik dengan kehidupan ekonomi yang carut-marut. Aku menjalani 3 tahun bersekolah di SMP Terbuka, dengan semangat yang selalu menemaniku, aku mengukir hari-hariku dengan senyuman dan kerja keras pantang menyerah. Dalam menjalani hari demi hari, terkadang aku merasa malu bila bertemu dengan teman-teman sekolah dasarku dulu, aku merasa prihatin dengan keadaanku sendiri, kadang merasa sedih, dan kadang rasa Maluku tak terelakkan lagi, sampai aku tidak bisa berbicara apa-apa. Mereka memang tidak menghinaku dengan kata-kata, tetapi mereka menghinaku dengan tatapan penuh makna, entah apa yang mereka pikirkan terhadapku, yang jelas, aku merasa malu setiap bertemu teman SD ku. Wajar saja, selain mereka lebih beruntung dari aku, mereka juga bebas tidak memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk makan.

Setelah 3 tahun berlalu, kini aku harus melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi dari sebelumnya yaitu sekolah menengah atas (SMA). “Aaah… Pusing, pusing, pusiiiing” kata-kata itulah yang sering terdengar dari balik bibir orangtuaku. Merka mulai bingung lagi dengan kelanjutan pendidikanku. “Mau kemana nanti anak kita? Apa tidak usah dilanjutkan saja?” Ah, orangtuaku selalu saja begitu, selama ini, aku tidak pernah berpikir untuk menghentikan pendidikanku, aku yakin semua pasti ada jalan keluranya. Seperti yang sebelumnya, aku berusaha mencari sekolah yang layak untuk dihuni oleh orang yang berkekurangan sepertiku. Dan pada akhirnya aku mendapatkan tempat bernaung unutk mencari ilmu di sekolah menengah kejuruan di kotaku. Memang di sekolah ini aku tidak mendapatkan uang saku, akan tetapi aku mendapatkan keringanan biaya spp perbulan yang ditanggung oleh para calon siswanya.

Aku bingung kenapa aku memilih sekolah kejuruan, toh aku pernah bilang aku tidak memiliki keahlian khusus. Aku bingung, aku gelisah, aku ragu, apakah pendidikanku kali ini akan gagal? Atau akan berlanjut namun tak ada hasil yang didapat? Ah, tak usah ku pikirkan itu! Ku buang jauh-jauh semua kegelisahan, kebingungan dan keraguan yang membenak di pikiranku. Ku buang semua layaknya sampah! Karena aku yakin, Allah telah merencanakan sesuatu yang lebih berharga ketimbang dengan memikirkan hasil dari usaha yang aku lakukan. Sekolah menengah kejuruan memang pelajarannya harus menjuru, banyak sekali jurusan-jurusan yang di cantumkan untuk pendidikan. Diantara pilihan jurusan tersebut, aku sepertinya tertarik dengan ilmu komunikasi dan komputer. Aku membayangkan bekerja di kantoran, tanpa sapaan terik matahari dan debu yang menemani kerjaku, tidak seperti narik becak. “Bissmillah… Aku pilih ini”. Ya, dan akhirnya kubulatkan tekad untuk mendapatkan mimpiku, aku pilih jurusan komunikasi dan komputer.

Berbicara tentang mimpi,ya, aku tidak pernah berhenti untuk bermimpi. Aku bermimpi untuk bekerja di kantor besar atau di perusahaan ternama. Ironis memang, mengingat keadaan ekonomi yang begitu mencekam, tidak bisa dipungkiri bahwa mimpiku itu hanya sekedar “pemanis” kehidupanku. “hahaha…. Itu hanya mimpi bodoh, jangan pernah berharap, jalani dulu saja hari-hari lo, nanti juga dapet ko rejeki mah, tapi jangan ketinggian mimpinya, malu sama orang kaya tuh, malu!” sepintas aku melamun. Tetapi aku selalu instropeksi diri, kalau saja aku tak punya mimpi dan selalu takut dicemooh orang, untuk apa aku hidup? Toh hidup berawal dari mimpi dan kita harus meninggalkan gengsi yang kita punya, aku selalu menggantungkan kalimat itu setinggi-tingginya, agar semua yang ku impinya dapat terwujud dan tercapai. Aku akan selalu berusaha keras, pantang menyerah, buang rasa malu, buang rasa ragu, karena hidup itu dimulai dari yang kecil, dari sebuah ironi menjadi sebuah tragedi, tragedi bahagia hingga kelak aku mati ! Sampai saat ini, malu hanyalah benalu, malu hanyalah masalalu, yang ku tau, malu tak menghalangiku !

***

0 komentar:

Posting Komentar