Selasa, 19 Maret 2013

Biarkan Ayesha Berjilbab

Oleh : Purnawati Aprilia Sofia

Astagfirullaah..
Lagi-lagi aku menangis, memandangi sehelai kain yang telah beberapa hari ku pakai tanpa sepengetahuan Mami dan Papi. Aku sengaja tidak memberitahukan hal ini, karena ku pikir mereka tidak akan suka dengan perubahanku. Membayangkannya saja aku tak berani. Bagaimana bila... ah, sudahlah, kujalani saja hari ini. Semuanya bukan mauku, ini kewajiban bagi semua wanita muslim. Ini yang terbaik, ini perintah Allaah. Gumamku dalam hati.

Mataku kini memerah, sembab. Pipiku tak lagi basah, hanya jejak air mata yang tersisa. Tapi nuraniku berteriak senang. Senang karena telah menjalankan salah satu perintah Allaah, yaitu menutup aurat dengan memakai jilbab.

Sudah seminggu aku memakainya. Berjingkat-jingkat seperti maling untuk memasuki rumah sendiri. Sebab aku takut diketahui Mami dan Papi. Aku pun saat ini belum siap untuk menceritakannya. Mungkin suatu saat nanti...
***
           
“Hm... Jadi kamu belum beritahu mereka?” tanya Adinda, teman dekatku.
Aku mengangguk pelan. Lalu aku kembali menyedot jus alpukat yang tadi ku pesan.
            “Memang kenapa sih kamu nggak dibolehin pakai jilbab?” tanyanya.
            “Mungkin Mami dan Papi nggak yakin kalau aku mau pakai jilbab secepat ini.”
            “Lalu mau sampai kapan begini terus?” tanya Rahayu.
            “Entahlah, sekarang aku belum siap untuk memberitahukan kepada mereka terlebih pada Mami, aku takut nanti Mami malah melarangku. Mami pernah bilang untuk apa memakai jilbab kalau hatinya kotor, lebih baik tidak memakai jilbab tapi hatinya bersih, padahalkan lebih baik keduanya. Udah pakai jilbab hatinya bersih lagi.” seruku menjelaskan.
“Kalau begitu, sekarang dan besok kamu beritahu Mamimu akan sama hasilnya, Mamimu nggak akan menyetujui kamu pakai jilbab, Sa.” seru Adinda.
            “Hm... mungkin Yesha butuh waktu, ini tak semudah yang kita bayangkan, Din.” ujar Rahayu dengan penuh pengertian.
Percakapan kami berakhir. Dan seperti biasa aku pun pulang dengan was-was dan gelisah.
                                                                        ***

            Aku melangkah perlahan menuju pintu samping, seperti biasa aku berjingkat-jingkat layaknya seorang maling. Jika ada orang yang melihat, mereka pasti akan menertawakanku. Walau begitu, aku selalu sukses melakukan aksiku ini tanpa diketahui Mami atau pun Papi.
            “Ayesha!”
Deg…!! Suara mami! Aku memberhentikan langkahku.
            “Sejak kapan kamu memakai jilbab?” tanya Mami menghampiriku.
 Aku hanya pasrah.
            “Memang kenapa, Mi?” tanyaku lembut.
            “Sejak kapan?! Kamu jawab pertanyaan Mami.”
            “Aku..., sudah seminggu ini Mi...” jawabku menggantung.
            “Siapa yang  menyuruhmu? Kepada mami saja kamu tidak bilang, Sa.”
Aku terdiam.
            “Aku disuruh Allaah. Allaah yang memerintahkan kita sebagai seorang muslimah untuk berjilbab, Mi. Jilbab merupakan bagian dari syari’at yang penting untuk dilaksanakan.” Meluncur begitu saja dari mulutku.
            “Kamu... tahu apa kamu tentang berjilbab?” tanya Mami sambil berlalu.
                                                                        ***                 

Keesokan harinya aku pergi ke sekolah tidak dengan was-was lagi. Mami tak memarahiku, aku sangat lega sekaligus bingung.
Tiba di sekolah, langsung kuceritakan pada teman-temanku perihal kejadian kemarin.
“Lalu, Mamimu nggak marah?” tanya Adinda penasaran.
“Apa tanggapannya, Sa?” ucap Rahayu.
“Entahlah, Mami nggak marah. Nggak juga meng-iyakan. Mami hanya bilang, tahu apa kamu soal jilbab? Lalu Mami pergi.” jawabku datar. Aku sendiri masih bingung.
            “Mungkin itu tandanya Mamimu setuju, Sa.” Ujar Rahayu semangat.
            “Semoga, tapi kenapa tanggapannya hanya begitu saja, ya?” aku bergumam.
            “Esa, bisa jadi Mamimu juga bingung harus bereaksi seperti apa.” Adinda berkata lalu kembali sibuk dengan mie ayamnya.
            “Iya juga ya, kita lihat saja apa yang terjadi pulang sekolah nanti. Semoga bukan sesuatu yang buruk. Laa haulaa walaa quwwata illaa billaah.” Harapku.
Tak lama bel masuk berbunyi. Kami kembali ke kelas, dan aku mengesampingkan tentang tanggapan Mami nantinya.
***

Tiba di rumah aku hanya sendiri, tak ada orang. Mami dan Papi belum tiba rupanya. Lalu aku masuk ke kamar. Kulihat ada bingkisan di atas meja belajarku. Kuambil bingkisannya, tak begitu besar, dan ada kartu ucapannya.
           
Untuk anakku Ayesha, semoga kamu tetap yakin, dan jadilah putri Mami dan Papi yang shalihah.
Lots of luv, Mami & Papi.

Aku tertegun, ku buka bingkisannya. Isinya gamis dan beberapa potong jilbab. Tak berapa lama Mami dan Papi masuk.
            “Kamu suka?” tanya Mami.
            “Suka sekali Mi, terima kasih, tapi...” jawabku.
            “Kurang suka warnanya?” ucap Papi lucu.
            “Tidak, aku suka sekali Pi, hanya saja...” jawabku kembali menggantung.
            “Kamu pikir kami melarangmu, ya?” tanya mami.
“Iya Mi, tanggapan Mami kemarin yang tidak Yesha mengerti.”
“Sebenarnya Mamimu sudah berniat memakai jilbab, Nak.” Ucap papi.
Aku semakin bingung. Aku menunggu kelanjutannya.
            “Yah..., hanya saja perusahaan tempat Mami bekerja tidak mengizinkan. Sebenarnya Mami sangat senang kok Ayesha bisa berjilbab.” Sambung Mami, sambil tersenyum ke arah Papi.

 “Bagaimana mulanya kamu bisa mengambil keputusan baik ini, Nak?” tanya Papi. Lalu meluncurlah ceritaku tentang awal mula aku menaati kewajiban bagi wanita muslim itu.   Dua bulan yang lalu aku diajak oleh Adinda dan Rahayu untuk ikut kajian agama di Sekolah dan bergabung dalam organisasi RISMA (Remaja Islam Masjid). Bu Evi guru agama kami tengah membahas tentang busana muslimah. Dalam kajian itu juga Bu Evi menceritakan bagaimana perjuangan akhwat-akhwat jaman dulu untuk memakai jilbab di lingkungan sekolah. Harus sembunyi-sembunyi, sampai sekolah ditentang, bahkan dipaksa untuk membukanya. Pokoknya berbeda sekali dengan sekarang yang kapan saja bisa memakainya, tidak ada yang melarang dan bukan hal aneh lagi karena wanita-wanita berjilbab sudah banyak. Bayangkan! Betapa bersyukurnya para muslimah dengan kondisi ini. Alhamdulillaahilladzi bi ni’matihi tatimush-sholihaat.

            Maka apalagi yang menghalangi para wanita untuk berjilbab, untuk menutup aurat. Padahal telah jelas firman Allaah Subhaana wa Ta’ala.

Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya...” (QS. An Nuur: 31)

            Hatiku benar-benar terketuk dengan materi yang disampaikan oleh Bu Evi. Ya, mungkin hidayah Allaah telah menyapaku. Jilbab telah memikat hatiku kala itu, ku pikir dengan berjilbab aku merasa lebih nyaman dan aman, dan aku tidak akan pernah tahu umurku berapa lama lagi, aku ingin aku benar-benar telah berjilbab, memenuhi kewajiban menutup aurat. Aku ingin meninggal dunia dalam keadaan patuh kepada Allaah. Jilbab adalah identitas seorang muslimah sehingga ia lebih dikenal dan lebih dihormati. Ketika seorang muslimah taat dan patuh kepada Allaah, Rabb semesta alam, maka ia akan segan untuk menolak perintahNya. Karena tentu saja hikmah di balik jilbab begitu banyak. Nikmat Allaah tidak terduga. Allaah Azza wa Jalla juga berfirman:

“Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allaah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al-Ahzab: 59).

 Untuk menjadi hamba yang disayang Allaah, tentunya juga harus mau menjalankan apa yang Allaah mau. Sampai saatnya tiba keinginanku mencapai puncaknya, dengan tekad bulat aku yakin untuk memakai jilbab. Teman-teman RISMA senang mendengar kabar ini. Tidak sampai di situ saja. Adinda dan Rahayu mengantarku ke toko busana muslimah kala itu. Beberapa jilbab, gamis, blouse, rok, dan kaos kaki berwarna senada ku beli di toko dekat sekolah.

            Keesokkan harinya, aku sekolah dengan memakai jilbab. Memang aku merasa canggung awalnya. Apalagi dengan gossip-gossip yang membuatku semakin panas. Ya, siapa yang tak terkejut melihatku tiba-tiba “berganti kostum”. Tapi sebagian dari mereka juga mendukungku. Malah banyak yang mengatakan aku lebih cantik memakai jilbab, terlihat lebih anggun, rapih, dan dewasa. Mereka yang berbaik hati juga ada yang memberi hadiah berupa busana muslimah dan buku-buku islam kepada ku yang baru saja hijrah ini.

            Semuanya terasa indah sekarang. Tak ada lagi yang menentangku, ridha Mami dan Papi sudah dalam genggamanku, itu segalanya. Ridha mereka adalah ridha Allaah. Aku bahagia bisa menjalankan kewajiban ini dengan dukungan dari semua pihak. Dan semoga aku tetap istiqomah di jalan-Nya.
Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam berdoa:
Yaa muqallibal quluub tsabbit qalbii ‘alaa diinik.
 “Wahai Rabb yang mebolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”
[HR. Tirmidzi 3522, Ahmad 4/302, al-Hakim 1/525, Lihat Shahih Sunan Tirmidzi III no. 2792]
                                                                        ***

“Hidayah itu ibarat cahaya, ia tak akan menyapa suatu ruangan yang tidak dibuka jendelanya.”

***

0 komentar:

Posting Komentar