Biarkan Ayesha Berjilbab
Oleh : Purnawati Aprilia Sofia
Astagfirullaah..
Lagi-lagi
aku menangis, memandangi sehelai kain yang telah beberapa hari ku pakai tanpa
sepengetahuan Mami dan Papi. Aku sengaja tidak memberitahukan hal ini, karena
ku pikir mereka tidak akan suka dengan perubahanku. Membayangkannya saja aku
tak berani. Bagaimana bila... ah, sudahlah, kujalani saja hari ini. Semuanya
bukan mauku, ini kewajiban bagi semua wanita muslim. Ini
yang terbaik, ini perintah Allaah. Gumamku dalam hati.
Mataku
kini memerah, sembab. Pipiku tak lagi basah, hanya jejak air mata yang tersisa.
Tapi nuraniku berteriak senang. Senang karena telah menjalankan salah satu
perintah Allaah, yaitu menutup aurat dengan memakai jilbab.
Sudah
seminggu aku memakainya. Berjingkat-jingkat seperti maling untuk memasuki rumah
sendiri. Sebab aku takut diketahui Mami dan Papi. Aku pun saat ini belum siap
untuk menceritakannya. Mungkin suatu saat nanti...
***
“Hm...
Jadi kamu belum beritahu mereka?” tanya Adinda, teman dekatku.
Aku mengangguk
pelan. Lalu aku kembali menyedot jus alpukat yang tadi ku pesan.
“Memang kenapa sih kamu nggak
dibolehin pakai jilbab?” tanyanya.
“Mungkin Mami dan Papi nggak yakin
kalau aku mau pakai jilbab secepat ini.”
“Lalu mau sampai kapan begini
terus?” tanya Rahayu.
“Entahlah, sekarang aku belum siap
untuk memberitahukan kepada mereka terlebih pada Mami, aku takut nanti Mami
malah melarangku. Mami pernah bilang untuk apa memakai jilbab kalau hatinya
kotor, lebih baik tidak memakai jilbab tapi hatinya bersih, padahalkan lebih
baik keduanya. Udah pakai jilbab hatinya bersih lagi.” seruku menjelaskan.
“Kalau
begitu, sekarang dan besok kamu beritahu Mamimu akan sama hasilnya, Mamimu
nggak akan menyetujui kamu pakai jilbab, Sa.” seru Adinda.
“Hm... mungkin Yesha butuh waktu,
ini tak semudah yang kita bayangkan, Din.” ujar Rahayu dengan penuh pengertian.
Percakapan
kami berakhir. Dan seperti biasa aku pun pulang dengan was-was dan gelisah.
***
Aku melangkah perlahan menuju pintu
samping, seperti biasa aku berjingkat-jingkat layaknya seorang maling. Jika ada
orang yang melihat, mereka pasti akan menertawakanku. Walau begitu, aku selalu
sukses melakukan aksiku ini tanpa diketahui Mami atau pun Papi.
“Ayesha!”
Deg…!! Suara
mami! Aku memberhentikan langkahku.
“Sejak kapan kamu memakai jilbab?”
tanya Mami menghampiriku.
Aku hanya pasrah.
“Memang kenapa, Mi?” tanyaku lembut.
“Sejak kapan?! Kamu jawab pertanyaan
Mami.”
“Aku..., sudah seminggu ini Mi...”
jawabku menggantung.
“Siapa yang menyuruhmu? Kepada mami saja kamu tidak
bilang, Sa.”
Aku terdiam.
“Aku disuruh Allaah. Allaah yang
memerintahkan kita sebagai seorang muslimah untuk berjilbab, Mi. Jilbab
merupakan bagian dari syari’at yang penting untuk dilaksanakan.” Meluncur
begitu saja dari mulutku.
“Kamu... tahu apa kamu tentang
berjilbab?” tanya Mami sambil berlalu.
***
Keesokan
harinya aku pergi ke sekolah tidak dengan was-was lagi. Mami tak memarahiku,
aku sangat lega sekaligus bingung.
Tiba di sekolah,
langsung kuceritakan pada teman-temanku perihal kejadian kemarin.
“Lalu,
Mamimu nggak marah?” tanya Adinda penasaran.
“Apa
tanggapannya, Sa?” ucap Rahayu.
“Entahlah,
Mami nggak marah. Nggak juga meng-iyakan. Mami hanya bilang, tahu apa kamu soal
jilbab? Lalu Mami pergi.” jawabku datar. Aku sendiri masih bingung.
“Mungkin
itu tandanya Mamimu setuju, Sa.” Ujar Rahayu semangat.
“Semoga, tapi kenapa tanggapannya
hanya begitu saja, ya?” aku bergumam.
“Esa, bisa jadi Mamimu juga bingung
harus bereaksi seperti apa.” Adinda berkata lalu kembali sibuk dengan mie
ayamnya.
“Iya juga ya, kita lihat saja apa
yang terjadi pulang sekolah nanti. Semoga bukan sesuatu yang buruk. Laa haulaa walaa quwwata illaa billaah.”
Harapku.
Tak
lama bel masuk berbunyi. Kami kembali ke kelas, dan aku mengesampingkan tentang
tanggapan Mami nantinya.
***
Tiba
di rumah aku hanya sendiri, tak ada orang. Mami dan Papi belum tiba rupanya.
Lalu aku masuk ke kamar. Kulihat ada bingkisan di atas meja belajarku. Kuambil
bingkisannya, tak begitu besar, dan ada kartu ucapannya.
Untuk anakku Ayesha, semoga kamu tetap
yakin, dan jadilah putri Mami dan Papi yang shalihah.
Lots of luv, Mami & Papi.
Aku
tertegun, ku buka bingkisannya. Isinya gamis dan beberapa potong jilbab. Tak
berapa lama Mami dan Papi masuk.
“Kamu suka?” tanya Mami.
“Suka sekali Mi, terima kasih,
tapi...” jawabku.
“Kurang suka warnanya?” ucap Papi
lucu.
“Tidak, aku suka sekali Pi, hanya
saja...” jawabku kembali menggantung.
“Kamu pikir kami melarangmu, ya?”
tanya mami.
“Iya
Mi, tanggapan Mami kemarin yang tidak Yesha mengerti.”
“Sebenarnya
Mamimu sudah berniat memakai jilbab, Nak.” Ucap papi.
Aku semakin
bingung. Aku menunggu kelanjutannya.
“Yah..., hanya saja perusahaan
tempat Mami bekerja tidak mengizinkan. Sebenarnya Mami sangat senang kok Ayesha
bisa berjilbab.” Sambung Mami, sambil tersenyum ke arah Papi.
“Bagaimana mulanya kamu bisa mengambil
keputusan baik ini, Nak?” tanya Papi. Lalu meluncurlah ceritaku tentang awal
mula aku menaati kewajiban bagi wanita muslim itu. Dua bulan yang lalu aku diajak oleh Adinda dan Rahayu untuk ikut
kajian agama di Sekolah dan bergabung dalam organisasi RISMA (Remaja Islam
Masjid). Bu Evi guru agama kami tengah membahas tentang busana muslimah. Dalam
kajian itu juga Bu Evi menceritakan bagaimana perjuangan akhwat-akhwat jaman dulu untuk memakai jilbab di lingkungan
sekolah. Harus sembunyi-sembunyi, sampai sekolah ditentang, bahkan dipaksa
untuk membukanya. Pokoknya berbeda sekali dengan sekarang yang kapan saja bisa
memakainya, tidak ada yang melarang dan bukan hal aneh lagi karena
wanita-wanita berjilbab sudah banyak. Bayangkan! Betapa bersyukurnya para
muslimah dengan kondisi ini. Alhamdulillaahilladzi
bi ni’matihi tatimush-sholihaat.
Maka apalagi yang menghalangi para
wanita untuk berjilbab, untuk menutup aurat. Padahal telah jelas firman Allaah
Subhaana wa Ta’ala.
“Dan katakanlah kepada wanita yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya...” (QS.
An Nuur: 31)
Hatiku benar-benar terketuk dengan
materi yang disampaikan oleh Bu Evi. Ya, mungkin hidayah Allaah telah
menyapaku. Jilbab telah memikat hatiku kala itu, ku pikir dengan berjilbab aku
merasa lebih nyaman dan aman, dan aku tidak akan pernah tahu umurku berapa lama
lagi, aku ingin aku benar-benar telah berjilbab, memenuhi kewajiban menutup
aurat. Aku ingin meninggal dunia dalam keadaan patuh kepada Allaah. Jilbab
adalah identitas seorang muslimah sehingga ia lebih dikenal dan lebih
dihormati. Ketika seorang muslimah taat dan patuh kepada Allaah, Rabb semesta
alam, maka ia akan segan untuk menolak perintahNya. Karena tentu saja hikmah di
balik jilbab begitu banyak. Nikmat Allaah tidak terduga. Allaah Azza wa Jalla
juga berfirman:
“Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allaah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Q.S Al-Ahzab: 59).
Untuk menjadi hamba yang disayang Allaah,
tentunya juga harus mau menjalankan apa yang Allaah mau. Sampai saatnya tiba
keinginanku mencapai puncaknya, dengan tekad bulat aku yakin untuk memakai
jilbab. Teman-teman RISMA senang mendengar kabar ini. Tidak sampai di situ
saja. Adinda dan Rahayu mengantarku ke toko busana muslimah kala itu. Beberapa
jilbab, gamis, blouse, rok, dan kaos
kaki berwarna senada ku beli di toko dekat sekolah.
Keesokkan harinya, aku sekolah dengan
memakai jilbab. Memang aku merasa canggung awalnya. Apalagi dengan gossip-gossip yang membuatku semakin
panas. Ya, siapa yang tak terkejut melihatku tiba-tiba “berganti kostum”. Tapi
sebagian dari mereka juga mendukungku. Malah banyak yang mengatakan aku lebih
cantik memakai jilbab, terlihat lebih anggun, rapih, dan dewasa. Mereka yang
berbaik hati juga ada yang memberi hadiah berupa busana muslimah dan buku-buku
islam kepada ku yang baru saja hijrah
ini.
Semuanya terasa indah sekarang. Tak
ada lagi yang menentangku, ridha Mami dan Papi sudah dalam genggamanku, itu
segalanya. Ridha mereka adalah ridha Allaah. Aku bahagia bisa menjalankan
kewajiban ini dengan dukungan dari semua pihak. Dan semoga aku tetap istiqomah
di jalan-Nya.
Rasulullaah
shallallaahu ‘alayhi wa sallam berdoa:
Yaa muqallibal
quluub tsabbit qalbii ‘alaa diinik.
“Wahai Rabb yang mebolak-balikkan hati,
teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”
[HR. Tirmidzi
3522, Ahmad 4/302, al-Hakim 1/525, Lihat Shahih Sunan Tirmidzi III no. 2792]
***
“Hidayah itu
ibarat cahaya, ia tak akan menyapa suatu ruangan yang tidak dibuka jendelanya.”
***
0 komentar:
Posting Komentar